Apakah Tanpa Disadari, Kamu Adalah Pelaku Guilt Trip?

Taufik M. Aditama
2 min readJun 25, 2021

Selama menjalankan perusahaan, saya sering berhadapan dengan para pelaku manipulasi mental. Atau bahkan sebetulnya, kita semua tanpa disadari adalah pelaku. Karena begini. Hegemoni adalah suatu hal yang wajar terjadi di komunikasi. Ketika terlibat di percakapan, kita sebagai manusia selalu memiliki satu agenda pribadi yang ingin dicapai, atau motif. Maka untuk memenuhi agenda tersebut, secara sadar atau tidak sadar, kita memanipulasi mental lawan kita. Maka dari itu, saya mungkin masih bisa mentoleransi jika ada upaya orang lain untuk memanipulasi mental.

Tapi untuk menjaga kesehatan mental kita, tetap saja kita harus tahu batas dari toleransi kita masing-masing. Nah, salah satu yang jadi musuh terbesar saya selama ini adalah manipulasi mental yang bernama Guilt Trip.

Secara definitif, guilt trip /ɡilt trip/ berarti: make (someone) feel guilty, especially in order to induce them to do something.

Guilt trip bisa terjadi dengan berbagai model. Tapi selama kamu paham motifnya, sebetulnya guilt trip ini gampang sekali terendus.

Misalnya begini. Di tengah malam, kamu menerima chat dari lawanmu. Ia mengaku ikhlas dengan kekalahannya, dan mendoakan yang terbaik untukmu.

Kelihatannya ini bagus, lawanmu berlapang dada. TAPI SEBETULNYA INI ADALAH GUILT TRIP.

  1. Dia adalah lawanmu.
  2. Setelah bekerja seharian, kamu layak untuk mendapatkan istirahat. Maka, lawanmu sengaja / tidak sengaja mengirim chat ini di malam hari, sehingga kamu tidak layak untuk dapat waktu istirahat.
  3. Ia playing victim. Jika dia ikhlas (holier than thou), tapi masih punya opini atau point of view yang harus kamu dengar, maka dia masih memiliki motif.

Guilt trip menurut saya adalah bentuk terendah dari upaya hegemoni. Karena aktivitasnya sepele, sekedar gaslighting, dan pelakunya seringkali tidak sadar. Tapi dampaknya mengikis psikologis lawan. Dalam psychological warfare, namanya juga perang, maka wajar lah kita hajar lawan kita meski sedikit-sedikit. Meski sudah kalah. Tapi masalahnya di guilt trip adalah, pelaku guilt trip ini seringkali tidak sadar dan membawa kebiasaan ini ke keseharian mereka, ke keluarga mereka dan ke pertemanan mereka.

Ada banyak cara yang lebih elok untuk melakukan hegemoni daripada guilt trip. Misalnya menunjukkan sincerity / ketulusan, tenggang rasa, atau empati. Karena jika kamu benar, maka kamu seharusnya tidak perlu berpolitik. Memang ini tidak lebih cepat, dan tidak lebih efektif, tapi setidaknya kita berkontribusi membuat dunia jadi tempat yang lebih cerah dan lebih layak untuk dihuni.

Keep your energy positive!

--

--

Taufik M. Aditama

Quirky, kind, but shy. Snarky, when i am comfortable enough to talk with you. COO of a hyper micro software studio in Indonesia