Gambaran Beban Mental Bikin Perusahaan

Taufik M. Aditama
3 min readDec 9, 2019

Sekarang pukul 4 sore. Saya sedang menunggu kereta balik ke Bandung yang masih dijadwalkan akan datang nanti pukul 7. Artinya, saya masih punya 3 jam untuk memikirkan apakah saya betul-betul ingin kembali ke Bandung atau tidak. Maka saya menulis.

Lah, cofounder macam apa yang gak mau balik ke perusahaannya?

Memang, co-founder kedengarannya prestisius. Tapi pada kenyataannya, setiap hari, kamu akan dihadapkan dengan banyak kegelisahan.

Apakah kami betul akan berhasil? Apakah saya cukup mempercayai tim saya untuk merealisasikan impian kami? Apakah premis yang kami bawa nanti bisa diterima masyarakat? Apakah bisnis kami bisa sustain? Apakah saya bisa?

Bahkan ketika semua pertanyaan ini terjawab sekalipun, atau aspek-aspek operasional mulai tertata rapi, kemudian tersibaklah area baru yang harus dipelajari, yang seolah tidak ada habisnya.

Banyak orang yang coba-coba mendirikan perusahaan. Apalagi saya, cuma anak kampung yang berangkat sendiri ke kota, lalu sisanya adalah nasib. Maka ketika ada tawaran itu, saya membayangkan banyak skenario fantasi berupa perjalanan roller coaster yang menakjubkan.

Hingga kemudian saya dipukul realita bahwa membangun bisnis berarti menanggung nasib dari mereka yang mengadu nasib di bisnis kami.

Maka, bisnis seharusnya jadi sprint yang sangat panjang.

Apalagi ketika kamu pegang peran operasional. Di tengah sprint panjang itu, tugasmu lah untuk memikirkan tentang bagaimana bisnismu bisa tetap mengapung di tengah ombak tinggi, mendeteksi agar kapal tidak bocor dari dalam, agar nahkoda tidak menavigasi kapal dengan payah yang justru nanti menabrak karang, atau kapal tiba-tiba mandek, kebakaran, dan self destruct. Setiap detik adalah pertempuran. Setiap detik, kamu harus meyakinkan pada setiap stakeholder bahwa ada pulau harta di balik tsunami. Dan jika pun ternyata setelah tsunami tidak ada apa-apa, maka akan ada pulau harta di balik tsunami berikutnya. Lalu, bagaimana bisa kamu meyakinkan orang lain jika kamu tidak bisa meyakinkan dirimu sendiri?

Inilah self doubt yang saya rasakan setiap harinya selama hampir dua tahun ini.

Nah, kamu pembaca sekalian di titik ini seharusnya sudah paham soal konsep yang saya tawarkan kalau jadi co-founder itu gak gampang. Sekarang, saya masih berhutang penjelasan pada diri saya sendiri, jawaban dari pertanyaan: apakah saya betul-betul ingin kembali ke Bandung untuk berhadapan dengan semua tekanan itu?

Saya sering bicara soal ownership. Tapi pada kenyataannya, beberapa hari ini saya lebih nyaman untuk beternak ayam di kampung halaman.

Megafon stasiun kereta sekarang sudah mengumumkan kalau kereta saya akan tiba. Saya membulatkan tekad untuk kembali ke Bandung. Ternyata, saya betul-betul ingin kembali. Saya masih ingin mencapai bintang utara saya. Yaitu berjalannya sebuah bisnis yang mampu membawa dampak sosial yang positif dan masif.

Lalu saya ingat salah satu poin yang sangat bagus di buku Rework tulisan DHH dan Jason Fried yaitu, bahwa bisnis memang sebuah sprint yang sangat panjang. Tetapi jika kita memecahnya dalam pencapaian-pencapaian kecil, maka semangat tim akan dapat terpompa. Inilah yang seharusnya saya lakukan.

Sekali lagi, saya akan bergulat melawan self doubt saya, mempertaruhkan pengalaman yang telah saya akumulasi selama lebih dari 10 tahun karir saya, untuk percaya bahwa saya mampu mengantarkan perusahaan kami ke pencapaian-pencapaian kecil dan ultimately, bintang utara kami, dengan bantuan co-founder lain yang saat ini sedang menunggu di Bandung, dan telah dengan baik menggantikan posisi saya selama saya libur.

Jadi, hey kamu, co-founder yang mungkin sekarang sedang berhadapan dengan dilema seperti saya, entah karena tuntutan keluarga untuk jadi PNS, godaan untuk ternak ayam, tawaran dari perusahaan lain, atau alasan lain-lain, its okey, its natural, itu wajar. Saya cuma bisa bilang, ingatlah kembali pada bintang utara kalian masing-masing.

--

--

Taufik M. Aditama

Quirky, kind, but shy. Snarky, when i am comfortable enough to talk with you. COO of a hyper micro software studio in Indonesia