Buat Kamu yang Merasa kalau Teman Kerjamu Kurang Pengertian

Taufik M. Aditama
3 min readFeb 3, 2020

Syukurlah saya pernah serius belajar Ilmu Komunikasi. Ada satu konsep menarik di Ilmu Komunikasi yang bisa menjelaskan satu masalah klasik dalam bekerja: kenapa ada teman kerjamu yang diminta mengerjakan A, dia malah kerjakan B.

Pada tahun 1976, seorang antropologis bernama Edward T. Hall mediskusikan perihal perilaku high-context culture di bukunya berjudul Beyond Culture. Sebagaimana namanya, high-context culture adalah gaya komunikasi yang menitikberatkan pada konteks (gerak badan, status sosial, dan nada suara), maka informasi kadang tidak disampaikan secara eksplisit pada kalimat yang disampaikan. Ini kontras dengan low-context culture, dimana informasi disampaikan secara eksplisit.

Sudah dua tahun kantor kami beroperasi di Bandung. Sekedar sebagai latar belakang saja, saya menghabiskan hampir sebagian besar umur hidup saya untuk tinggal di garis pantura Jawa Timur, salah satunya Surabaya. Sekilas, mungkin seharusnya antara Surabaya dengan Bandung tidak jauh beda. Tapi ternyata semakin lama tinggal di Bandung, semakin saya menemukan kalau Bandung ternyata adalah dimensi yang berbeda.

Faktor yang melatarbelakangi ini saya pikir tidak jauh dari konsep yang ditawarkan oleh Hall.

Satu kesamaan yang saya tangkap dari orang-orang yang terbiasa tinggal di Surabaya adalah mereka cenderung mengadopsi gaya low-context. Sedangkan generasi produktif saat ini yang terlahir dan dibesarkan di Bandung adalah, mereka-mereka yang cenderung mengadopsi gaya high-context di tempat kerja.

Maka, atasan yang menyampaikan informasi dengan gaya low context, bisa sangat mengintimidasi bagi mereka (high context). Kata ‘get shits done’ yang apa adanya, dan sebetulnya disampaikan dengan maksud baik, bisa amat menyinggung mereka berhari-hari. Atau, ketika jadi atasan, maka mereka akan cenderung menggunakan pendekatan yang sangat diplomatis untuk menegur bawahan ketika salah. Sehingga kadang, bawahan tidak mengerti kalau mereka sedang ditegur.

Ibaratnya, orang-orang high context tinggal di stratosfer, sedangkan orang-orang low context tinggal di inti bumi. Mana bisa nyambung.

Lalu bagaimana?

Tenggang rasa. Saling mengerti. Tepo seliro. Orang-orang high-context perlu turun ke bumi ketika menyampaikan gagasan pada orang-orang low-context. Sampaikan to the point, gak perlu diberi hiasan-hiasan, dan jangan berbelit-belit. Orang-orang low context gampang bosan.

Sedangkan bagi orang-orang low-context, pekerjaan rumahnya adalah memperhatikan situasi dan kondisi ketika menyampaikan gagasan pada orang-orang high-context. Sekedar berusaha memilih kata yang benar saja saya pikir merupakan iktikad yang sudah cukup baik. Gak perlu sampai harus mengubah gaya komunikasi jadi implisit.

Seni bernegosiasi, saya pikir terletak pada tenggang rasa ini. Fleksibilitas kita untuk memperhatikan siapa lawan bicara kita, dan menyesuaikan gaya kita berkomunikasi dengan gaya mereka untuk memastikan kalau kita sudah satu frekuensi.

Konsep ini tidak bullet proof. Hall bahkan menambahkan kalau kadang, satu orang bisa mengadopsi gaya low context di satu situasi, tapi dia bisa saja mengadopsi high context di situasi lain. Contohnya, kalian mungkin bisa blak-blakan ketika di tongkrongan, tapi sangat jaim ketika di kantor. Selain itu, stereotype ini mungkin akan invalid karena seiring perkembangan jaman dan globalisasi, nilai-nilai yang sudah kuno seringkali tergeser tergantikan.

Tapi, saya suka menggunakan konsep ini untuk menjawab masalah-masalah interpersonal di kantor. Karena praktis. Bayangkan begini: jika ada teman kerjamu yang diminta mengerjakan A, dia malah kerjakan B, maka daripada tunjuk-tunjukan jari, tanyakan dulu ke diri sendiri, apa saya sudah tune in pada lawan bicara ketika menyampaikan gagasan? Nah, praktis bukan.

--

--

Taufik M. Aditama

Quirky, kind, but shy. Snarky, when i am comfortable enough to talk with you. COO of a hyper micro software studio in Indonesia