Cara Kami Melakukan User Interview.

Taufik M. Aditama
4 min readJan 17, 2019

Play-Doh, atau lempung mainan yang biasa Anda beli untuk kado anak-anak, ketika awalnya diperkenalkan pada 1930, tidaklah diperuntukkan untuk anak-anak. Sebuah pabrik sabun di Ohio mengenalkannya pada orang-orang yang ingin menghilangkan noda arang membandel yang menempel di tembok. Barulah 20 tahun kemudian ketika satu kelas penuh anak-anak di Cincinnati mulai menggunakannya untuk bahan pemodelan, pemanufaktur menyadari kalau audiens mereka ternyata benar-benar berbeda. Hingga pada 2003, Play-Doh sebagai mainan anak-anak ditasbihkan dalam daftar toys of the century.

Di masa kini, ketika sebuah startup tidak memiliki usia sepanjang bisnis-bisnis konvensional di jaman dulu, ada kebutuhan yang mendesak untuk menemukan user yang benar dengan cepat. Dengan mengenal audiens, siapa, dan apa yang menggelitik mereka, apa yang memberikan mereka kegembiraan, frustasi, dan motivasi, bisa menyediakan kita basis untuk membuat produk atau layanan yang lebih baik. Ini juga akan mencegah tim untuk berdebat kusir tentang asumsi-asumsi yang belum terbukti hingga akhirnya kita jatuh pada praktek membuat produk frankenstein yang hanya terdiri dari kumpulan banyak fitur yang ternyata tidak dibutuhkan siapapun.

Berkaitan dengan user, ada dua tipe informasi tentang user yang akan anda butuhkan: demografik dan behavior. Marketing expert membutuhkan data demografik untuk menyusun product messaging melalui segmentasi konsumen. Product developer akan membutuhkan data behavior sebagai basis penyusunan produk. Maka kedua bagian ini seharusnya dapat bersinergi untuk mendapatkan pedoman yang dapat digunakan secara konsisten di tahap produksi dan rilis. Pedoman ini umumnya dikemas dalam bentuk User Persona.

Contoh User Persona begini: Siti, seorang ibu rumah tangga berusia 27 tahun tinggal di Surabaya punya 2 anak (berusia 2 dan 4 tahun), menikah dengan Supri, seorang data analyst di sebuah perusahaan IT yang digaji 10 juta perbulan. Tantangan Siti untuk belanja sayuran adalah sulitnya bagi ia untuk menyusun menu keluarga yang sehat sekaligus diminati oleh anak-anaknya. Belum lagi waktu yang ia habiskan untuk menenangkan tantrum mereka ketika belanja di pasar.

Contoh di atas adalah karakteristik karangan yang berbasis dari asumsi saya terhadap pengguna aplikasi belanja sayuran. User Persona yang dibuat di awal, boleh berbasis asumsi, opini, tebakan, atau data lain, misalnya stereotype yang dikumpulkan dari Youtubers. User Persona semacam ini disebut Proto Persona (kata Jeff Gothelf), Ad Hoc Persona (Tamara Adlin), Provisioal Persona (Kim Goodwin), atau Bullshit Persona (Tomer Sharon). Kemudian barulah melalui riset di lapangan yang sebenarnya, kita mempertajam persona tersebut. Salah satu riset lapangan yang bisa kita lakukan dengan cepat adalah User Interview.

Baiklah, sekarang kita sudah sepaham soal kaitan User Persona dan User Interview.

Kami pernah menulis tentang teknik membuat User Persona disini. Maka berikutnya adalah soal bagaimana melakukan User Interview secara efektif. Ada beberapa hal yang kami temukan selama mewawancara sebagai basis produksi aplikasi, yaitu:

  1. Siapa saja yang bisa diwawancara. Ada beberapa orang yang relevan untuk Anda wawancara:
  • Potential user. Atau mereka yang memiliki karakteristik mirip dengan kriteria asumtif yang kita buat sebelumnya (Proto Persona).
  • User yang secara tidak langsung berkaitan. Atau mereka yang tidak menggunakan produk Anda dalam skenario yang normal, tapi tetap akan sangat diuntungkan dengan kehadiran produk Anda. Terutama ketika Anda mulai mencurigai kalau proyek yang Anda kembangkan berpotensi melebar kemana-mana. Maka opini dari user jenis ini bisa memberi batasan terhadap pelebaran tersebut.
  • Extreme user. Atau mereka-mereka yang menggunakan produk di domain tersebut dengan sangat spesial bahkan abusive, dan hanya sedikit yang sepertinya. Misalnya kolektor celana jeans yang memiliki 100 celana jeans di lemarinya.
  • Expert. Atau mereka yang sangat berpengetahuan di domain ini, bukan karena bertindak sebagai extreme user, tapi karena sudah berkecimpung lama di bidang tersebut, atau telah mempelajari teori-teorinya dengan sangat serius.

2. Anda bisa melakukan wawancara kapan saja, tapi lebih baik jika dilakukan di habitat yang paling mendekati. Seperti:

  • Undangan di ruang tertutup, atau datang ke rumah. Hasil wawancara bisa jadi semakin kaya ketika Anda menanyai user setelah mereka melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tema wawancara Anda.
  • Secara remote melalui Skype atau telfon. Mungkin dengan metode ini, ada banyak hal yang akan anda lewatkan seperti konteks, habitat asli mereka, gesture, atau intonasi, daripada ketika menemui user secara langsung. Tapi lebih baik ada wawancara remote daripada melewati tahapan ini sama sekali sehingga produk akhir hanya berbasis tebak-tebakan dan asumsi.
  • Jalanan. Banyak pelaku startup yang menganggap “Starbuck Interview” seperti ini sebagai praktik “Get out of the building”, yang mana sebenarnya justru adalah kesempatan untuk mengumpulkan data kuantitatif, karena wawancara mungkin tidak bersifat mendalam atau hanya 5–15 menit, dan ada beberapa orang yang mungkin menolak diwawancara, atau memberi informasi palsu yang sulit dideteksi.

3. Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan:

  • Jangan pitching. Atau menawarkan produk atau ide Anda. Jangan meyakinkan user untuk membelinya. Karena user interview bukan sales call. Akan ada waktunya sendiri untuk ini, nanti. Sekarang, tujuan anda disini adalah belajar tentang user. Jadi sebisa mungkin seharusnya biarkan merekalah yang bercerita panjang lebar.
  • Gunakan pertanyaan yang memaksa jawaban kualitatif. Menanyakan pertanyaan yes/no akan menyingkirkan aspek kualitatif. Maka daripada bertanya tentang “adakah kesulitan ketika belanja sayuran?”, susun ulang kalimat tersebut menjadi “coba ceritakan kesulitan Anda ketika belanja sayuran”.
  • Seringkali ada petunjuk non-verbal yang tidak cocok dengan kalimat. Apalagi di negara dimana budaya komunikasi yang dianut adalah berlapis-lapis seperti di Indonesia (kategori pola komunikasi tingkat tinggi). Cobalah membaca ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tekanan suara, bukan cuma sekedar kata-kata. Periksa kalau ada tanda-tanda ketidaknyamanan, ketidaksetujuan, pertahanan diri, melalui tawa, desahan napas, atau mata berputar.

Gunakan data hasil User Interview untuk melengkapi Proto Persona / Ad-hoc Persona / BS Persona menjadi User Persona betulan, kemudian gunakan Value Proposition Design untuk menerjemahkannya ke dalam fitur. Anda tentu ingin membuat apps yang kelak bisa diminati banyak pengguna.

--

--

Taufik M. Aditama

Quirky, kind, but shy. Snarky, when i am comfortable enough to talk with you. COO of a hyper micro software studio in Indonesia